Hubungan Antara Iman dan Ilmu

Hubungan Antara Iman dan Ilmu
Mu’adz bin Jabal ra mengatakan sebelum wafatnya, “Ilmu dan iman keberadaannya adlh orang yg mencari keduanya, akan mendapatkan keduanya.” Atsar ini sangat istimewah karena berasal dari salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wassallam, yang mulia dan juga alim. Ilmu dan iman adalah dua hal yang tidak dapat kita berdiam diri menunggu sampai mereka datang, karena belum tentu keduanya menghampiri kita.


Tidak ada kepastian sedikitpun bahwa ilmu dan iman akan melewati diri kita pada sebuah kesempatan. Tidak ada jaminan sedikitpun. Adapun manfaat keduanya sudah jelas. Ilmu menuntun seseorang kepada kebenaran dan iman meneguhkannya pada kebenaran. Ilmu menjadi sia-sia tanpa keimanan. Iman akan senantiasa goyah dan sesat tanpa arah tanpa ilmu. Keduanya harus berpasangan. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka kehidupan kita sebagai manusia akan sesat tanpa arah tujuan, menghamba kepada sesama hamba. Seseorang yang mengetahui sebuah perkara ilmu, belum tentu dapat mengamalkannya karena kurangnya iman.
Seseorang yang beriman kepada sesuatu akan kebingungan dan tersesat tanpa ilmu yang menuntunnya untuk sempurnakan iman tersebut. Adapun mereka yang memiliki ilmu dan iman, adalah mereka yang besar potensinya untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat. Contoh, seseorang paham akan wajibnya menutup aurat. Ia berilmu, namun ia berat untuk menutup auratnya karena imannya belum mantap. Jadi ilmunya menjadi tidak berguna dan tidak menolong keadaan dirinya, ia tetap saja melalaikan perintah yang ia sudah ketahui ilmunya. Permasalahan seperti ini, jelas adalah permasalahan keimanan yang masih goyah dan belum tegak berdiri di dalam hatinya.
Lalu contoh kedua mengenai mereka yang beriman, dengan keyakinan yang teguh namun bingung untuk lakukan apa atas keimanan mereka. Akhirnya mereka mengarang, membuat, mengatur sendiri keimanan mereka tanpa ilmu yang benar. Jadilah mereka tersesat walaupun miliki iman. Lalu bagaimana kita bisa menjamin diri kita agar tidak lalai dan juga tidak tersesat?
Mu’adz bin Jabal ra wasiatkan kepada kita, dalam atsar beliau tersebut, untuk mencari keduanya. Carilah ilmu dan iman. Masya Allah. Imam Syafi’i rahimahullah, pernah mengatakan, “Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi.” Perhatikan kesahajaan seorang imam besar ini. Mereka yang duduk diam, manis berpangku tangan, adalah mereka yang merugi karena ilmu tidak akan sampai kepada mereka.

Berbeda dengan mereka yang giat mendatangi majelis-majelis ta’lim yang Rasulullah katakan sebagai taman-taman surga. Ketahuilah ikhwah fillah, warisan dari para nabi dan rasul bukanlah harta dan tahta. Mereka bukan pemimpin parpol atau pejabat publik. Sesungguhnya warisan dari para nabi dan rasul adalah ilmu yg menjadi bekal para pengikutnya untuk menggapai keselamatan, hindari kesesatan.
Ingatkah kita mengenai kisah seorang sahabat yang mulia, yang mendengar nubuwat akan kedatangan seoran rasul Allah sehingga beliau berjalan jauh dari kampung halamannya untuk dapat mencari dan menemui rasul Allah tersebut? siapa nama sahabat tersebut? Sahabat ini rela meninggalkan kampung halamannya untuk mencari keimanan. Ia mencari keimanan, kebenaran yang akan ia jadikan pegangan hidup.
Lalu ingatkah kita mengenai kisah para sahabat yang mulia dari kaum Anshor, yang sengaja pergi ke Mekkah untuk membai’at Rasulullah? Mereka juga contoh dari sahabat yang mencari keimanan. Mereka butuh bukti akan kebenaran sehingga mereka mencarinya.

Kita juga pasti ingat kisah masuk Islamnya seorang sahabat yang penuh keberkahan, Thufail Ad Dawsi. Thufail Ad Dawsi ra, walaupun ditakuti sedemikian rupa, akhirnya memutuskan untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Thufail ra kalahkan rasa takutnya itu dengan semangat untuk mencari kebenaran yang hakiki. Beliau mencari keimanan dan menemukannya.
Beberapa hal yang mutlak perlu disiapkan sebagai bekal dalam mencari keimanan; ilmu, keikhlasan, kejujuran, dan asy syuja’ah/keberanian. Lanjut lagi. Ilmu berguna untuk mengenali kebenaran. Sebagaimana disampaikan Ali bin Abi Thalib ra dengan atsar beliau yang terkenal, ”Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengenali ahlinya.” Analogi yang tepat dan hebat mengenai keutamaan ilmu. 

Keikhlasan dan kejujuran, membawa kita kepada sikap yang bersedia menerima kebenaran ketika kita mengenalinya berlandaskan kepada ilmu. Tanpa keduanya, maka jadilah kita seperti mereka yg yakin akan kerasulan Rasulullah namun enggan nyatakan iman karena dengki dan ashobiyah.
Lalu asy syuja’ah, keberanian. Keberanianlah yang menjadi poin akhir dari rentetan upaya dalam mencari ilmu ini. Thufail ra, memutuskan untuk mendengarkan sabda Rasulullah dengan bekal ilmu, ikhlas, kejujuran dan juga keberanian ini. Karena risiko keimanan kepada kebenaran adalah benturan dengan yang bathil, mungkar, durhaka. Tanpa keberanian, kita tidak akan melangkah.


Rasa takut akan kehilangan ma’isyah, lingkungan sosial, posisi, kehormatan, akhirnya mengurungkan dirinya melangkah menuju kebenaran. Iman hanya akan didapatkan jika kita bersedia mencarinya! Demikian hikmah yang disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal dalam wasiatnya. Barangsiapa mencari ilmu dan iman, maka ia akan mendapatkannya. Sungguh Allah Maha Pemurah terhadap seluruh hamba-Nya Wallahu a’lam bishshowab, semoga yang kami sampaikan membawa manfaat bagi kita semua.