Sejarah Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Sejarah Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang - Awal mula pendirian Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang dapat ditelusuri dalam rekam jejak sejarahnya yang penuh dinamika. Hikmah yang dapat diambil dari kisah ini adalah bahwa dengan niat yang tulus dan reputasi yang baik seseorang akan dapat mendirikan pesantren walaupun dengan tanpa modal duniawi yang cukup.

AWAL MULA PENDIRIAN PONDOK PESANTREN AL-KHOIROT MALANG

Sejarah Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang - Awal mula pendirian Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang dapat ditelusuri dalam rekam jejak sejarahnya yang penuh dinamika. Hikmah yang dapat diambil dari kisah ini adalah bahwa dengan niat yang tulus dan reputasi yang baik seseorang akan dapat mendirikan pesantren walaupun dengan tanpa modal duniawi yang cukup.

Sejarah Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

MENDAPAT TANAH HIBAH UNTUK PESANTREN

Pada awal tahun 1960-an seorang dermawan bernama Hj. Siti Ruqoyyah asal desa Bulupitu, kecamatan Gondanglegi, kabupaten Malang datang ke Kyai Syuhud Zayyadi yang waktu itu masih muda dan baru beberapa tahun menikah dengan Nyai Hj. Masluhah Muzakki. Maksud kedatangan Hj. Siti Ruqoyah adalah untuk menawarkan sebidang tanah untuk keperluan pendirian pesantren. Hj. Ruqoyah memberi tawaran untuk memilih salah satu area tanah yang berlokasi di tiga tempat yaitu di desa Bulupitu, desa Karangsuko, dan desa Jogosalam yang ketiga-tiganya saat itu ikut kecamatan Gondanglegi, Malnag.

Hibah bukan Wakaf

Kyai Syuhud tidak langsung menerima tawaran tersebut karena Hj. Ruqoyah menawarkan sebidang tanah itu dengan akad transaksi wakaf. Kyai Syuhud menolak pemberian tanah waqaf untuk pesantren karena akan berpotensi kurang baik ke depan. Karena, tanah waqaf memiliki keterbatasan dalam segi penggunaannya. Misalnya, tanah wakaf untuk pesantren hanya boleh digunakan untuk kepentingan pesantren dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.

Kyai Syuhud baru akan bersedia menerima tawaran tanah tersebut apabila berupa tanah hibah sehingga keluarga pengasuh pesantren nantinya bebas menggunakan tanah tersebut tanpa takut terjadi pelanggaran hukum syariah. Akhirnya, Hj. Ruqoyah menyetujui bahwa tanah yang ditawarkan adalah tanah hibah. Bukan tanah wakaf.

MENENTUKAN PILIHAN LOKASI

Setelah terjadi kesepakatan bahwa tanah yang ditawarkan untuk pesantren itu berupa hibah, bukan wakaf, masalah belum selesai sampai di situ. Ada satu hal lagi yang menjadi pemikiran Kyai Syuhud yaitu lokasi mana dari tiga tempat yang ditawarkan yang paling baik dan manfaat untuk pesantren. Apakah di Bulupitu, Jogosalam atau Karangsuko?

Bagi Kyai Syuhud, pilihan itu bukan keputusan yang mudah diambil. Karena, salah memilih tempat akan berdampak pada masa depan pesantren selanjutnya. Dan bahwa tawaran untuk memilih itu hanya datang satu kali, begitu pilihan sudah diambil dan pesantren sudah didirikan, maka tidak ada lagi titik balik untuk mengurungkan niat. Itulah sebabnya, Kyai Syuhud sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Untuk itu, Kyai Syuhud sowan pada Kyai Abdul Hamid Bakir bin Kyai Abdul Majid, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura. Dalam hubungan kekerabatan, Kyai Bakir adalah sepupu dari Kyai Syuhud. Namun bagi Kiai Syuhud, Kiai Bakir bukan hanya sekedar saudara dekat. Kyai Syuhud menganggap beliau sebagai seorang mentor, guru dan sekaligus sahabat dekat yang selalu siap mengulurkan bantuan apapun yang diperlukan baik diminta atau tidak. Kyai Bakir dianggap guru karena beliau adalah putra dari Kyai Abdul Majid, salah satu guru utama Kyai Syuhud. Dalam kultur Madura, putra seorang guru menempati posisi sama dengan guru asal dalam segi pemberian penghormatan dan ta’dzim.

Selain itu, Kyai Bakir dikenal sebagai sosok ulama pejuang dan dikenal memiliki keahlian spiritual yang andal. Itulah sebabnya Kyai Syuhud meminta nasihat spiritual untuk memutuskan lokasi pesantren.

Ternyata Kyai Bakir tidak memberi keputusan. Beliau hanya menjelaskan sisi positif dan negatifnya dalam perspektif spiritual apabila memilih salah satu dari tiga lokasi di atas. Sedang keputusan terakhir diserahkan kepada Kyai Syuhud.

Setelah mendengarkan tinjauan perspektif spiritual dari Kyai Bakir tersebut, maka Kyai Syuhud memutuskan untuk memilih lokasi di desa Karangsuko, kecamatan Gondanglegi, kabupaten Malang.

Tanah yang berada di desa Karangsuko, kecamatan Gondanglegi, kabupaten Malang ini memiliki luas 10.840 meter persigi atau 1 hektar leih sedikit. Lokasinya cukup strategis berada di jalan Sumbertaman (sekarang diubah menjadi Jalan Kyai Syuhud Zayyadi).

Di tanah inilah Kyai Syuhud membangun infrastruktur dasar yang diperlukan. Yang pertama adalah rumah untuk pengasuh, musholla untuk putra dan asrama santri putra.

KONDISI MASYARAKAT KARANGSUKO
Kondisi sosial dan spiritual masyarakat Karangsuko pada 1963 boleh dikata cukup memprihatinkan. Walaupun dalam KTP mereka beragama Islam namun dalam praktiknya masih sangat jauh dari spirit syariah Islam. Molimo (5M) masih marak di sana kala itu. Molimo atau 5M adalah singkatan dari minum, madon, madat, main, maling sebuah istilah yang umum dipakai untuk memberi label pada suatu kondisi seseorang atau masyarakat Islam yang jauh dari tuntunan agama.

Jadi, Kyai Syuhud memikul tiga tugas berat sekaligus yaitu membangun infrastruktur pesantren, mendidik santri, dan membina masyarakat Karangsuko terutama yang ada di sekitar pesantren.

PENDIRIAN PESANTREN AL-KHOIROT

Setelah disepakati oleh kedua pihak yakni Hj. Ruqoyah dan Kyai Syuhud, akhirnya pada bulan Ramadhan tahun 1963, Kyai Syuhud resmi pindah dari Jalan Murcoyo Gondangelgi ke desa Karangsuko dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Khoirot untuk putra. Saat ini, tidak ada niat Kyai Syuhud atau Ny. Hj. Masluhah Muzakki untuk mendirikan pesantren putri. Kepindahan dari Gondanglegi ke Karangsuko pada tahun 1963 ini bersamaan dengan lahirnya putri Kyai Syuhud yang keempat dengan nama Luthfiyah.

Tanah yang dihibahkan oleh Ny.  Hj. Ruqoyah Bulupitu  sekitar 1 hektar. Untuk pendirikan sebuah pesantren dengan visi ke depan yang dapat menampung banyak santri dan institusi sekolah, maka tanah ini boleh dikakatan tidak begitu luas. Namun itu sudah cukup. Setidaknya untuk sementara waktu. Karena, saat ini belum banyak santri yang datang untuk mondok dan menuntut ilmu di PPA. Sehingga tanah yang sebenarnya tidak begitu luas itu selain dipakai untuk membuat beberapa kamar asrama putra, madrasah diniyah dan infrastruktur lainnya, masih juga dipakai untuk sebagiannya untuk menanam padi atau jagung.
 
Sumber : http://www.alkhoirot.com/