Benarkah Jidat Hitam Tanda Paling Banyak Beribadah ? - Wajah para sahabat itu bercahaya, ini
yang dinamakan min atsaris sujud, jadi bukan jidatnya yang hitam itu
sebagai bekas sujud, kalau yang cuma jidatnya hitam itu lebih tepat
disebut min atsaril karpet, bekasnya karpet. Para waliyullah itu takut
kalau jidatnya hitam, takut itu menjadikan riya’. Adapun sahabat itu
wajahnya bercahaya sangat berkilauan, dan ketika bangkit dari alam kubur
wajahnya terang seperti bulan purnama.
Itu semua diawali dari wudhu para sahabat yang mencapai ke hati. Wudhu
bukan hanya melaksanakan syarat dan rukun wudhu. Kalau cahaya wudhu
sampai hati, maka timbul sifat tawadhu’ (rendah hati), dan tubuh tidak
mau digunakan untuk maksiat. Jangankan digunakan maksiat, semisal kita
melihat keburukan, mata ini tidak betah, pengennya pergi atau memejamkan
mata.
Tidak mau membuka aib atau melihat aib saudara sesama muslim dan sesama
anak bangsa. Kalau melihat perempuan membuka auratnya, tidak mau
melihatnya, karena menganggap itu aib saudaranya. Begitu juga dalam
kehidupan berbangsa. Kalau kita menutupi aib saudara kita sebangsa, atau
pejabat kita, atau Negara kita, maka bangsa lain pun tidak berani
memojokkan bangsa kita. Bangsa lain memojokkan bangsa kita, tidak
menghormati bangsa kita karena kita sendiri yang membuka aib bangsa
kita.
Selain itu, contoh lain dari min atsaril wudhu’ adalah tutur kata kita
bagus dan sopan. Orang jadi berwibawa karena tutur kata yang sopan.
Salamatul insan fii hifzhillisan, selamatnya seseorang karena menjaga
lisannya dari tutur kata yang tidak baik.
Apa yang kita, orang dewasa, ucapkan itu akan ditiru juga oleh
anak-anak. Jadi, yang tua harus memberi contoh yang baik pada yang muda,
pada anak-anak.
Janganlah kita membuka aib seseorang di atas podium, walaupun kita tidak
cocok terhadap seseorang. Allah ta’ala saja dalam al Quran memakai ada
ketika mengingatkan, yaitu dengan kalimat yaa-ayyuhal ladziina aamanuu,
yaa ayyuhan naas, tidak menyebut nama langsung, tapi wahai orang-orang
beriman, wahai manusia, bukan wahai fulan bin fulan.
Lisan yang Terbiasa Berdzikir
Kalau lisan kita terbiasa berdzikir maka buahnya adalah tutur kata yang
baik. Berdzikir itu dilakukan karena kita perlu dan butuh pada Allah,
dan juga kan mencari pahala itu tidak hanya dalam shalat. Selain itu,
berdzikir itu untuk melatih dan membimbing lisan dan hati agar terbiasa
ingat Allah. Oleh karena tidak ada yang melebihi sakitnya sakaratul
maut, maka lisan dan hati harus dilatih dengan dzikir, apalagi dalam
thariqah. Apa yang menjadi kebiasaan lisan kita itu yang akan muncul
secara reflex saat sakaratul maut.
Semisal, kalau lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah, kemudian
kita berjalan tanpa sengaja terpeleset atau tersandung, maka biasanya
reflex mengucapkan alhamdulillah. Tapi kalau yang biasa dilatih dan
diucapkan kata kotor atau nama hewan, maka saat terpeleset atau
tersandung batu ya kalimat nama hewan itu yang keluar dari lisannya.
Badan kita atau baju kita, tiga hari saja tidak dicuci maka baunya bikin
orang lain tidak nyaman, bahkan kita sendiri pun tidak nyaman. Kalau
badan kotor kita mudah membersihkannya, tinggal mandi. Tapi kalau hati
kita yang kotor? Dalam sehari, berapa kali kita mencuci hati kita?
Allah ta’ala berfirman, alaa bidzikrillah tathma-innul quluub. Itulah
cara kita mencuci hati kita yaitu dengan berdzikir. Karena penyakit hati
itu harus dibersihkan agar jauh dari sifat tercela seperti ujub,
sombong, riya’, hasud (iri hati), dan lain-lain.
Tazkiyatun Nafs
Adapun membersihkan hati itu dengan kalimat dzikir laa ilaaha illAllah.
Kalau dalam membaca laa ilaaha illAllah ditata dengan baik dan diresapi
dalam hati, maka kalimat laa ilaaha illAllah bisa membersihkan hati
kita, sehingga hati penuh dengan laa ilaaha illAllah.
Kita ini dalam masuk thariqah jangan kayak anak SD yang suka pamer
fadhail (keutamaan). Anak-anak kan kalau hari lebaran biasa pakai baju
baru, biasanya itu saling pamer bagus-bagusan baju baru. kata si A,
bagusan bajuku gambarnya pesawat, si B nggak mau kalah, si C juga nggak
mau kalah. Semua rebutan bagus-bagusan baju baru lebaran. Masuk thariqah
itu untuk wushul kepada Allah, bukan untuk fadhail. Kalau kita masuk
thariqah kayak anak SD, maka thariqah dan dzikir kita hanya menghiasi
lisan. Padahal, kalau thariqah sudah menghiasi bathin kita, maka saya
jamin dunia damai.
Seminggu sebelum wafat, Sayyidi Syekh Al Imam Abul Abbas Ahmad bin
Muhammad At Tijani keliling silaturrahim ke Ulama, memohon doa kepada
para Ulama agar Husnul Khatimah, padahal sekelas al Imam Ahmad at Tijani
itu wali Quthub, tapi masih mau bersilaturrahim dan memohon doa ke
Ulama lain. Itu bentuk betapa tawadhu’nya al Imam As Syaikh Ahmad at
Tijani.
Jangan kita bikin malu Imam Thariqah kita dengan cara kita berakhlak
yang baik, tawadhu’, cinta Rasulullah dan Ulama. Sehingga kompak, saling
tawadhu, dan saling mengangkat. Orang Qadiriy memuji orang Tijani,
orang Syathari mengangkat orang Naqsybandiy, dan seterusnya, jadi sesama
ahli thariqah, meskipun berbeda thariqah tapi saling memuji dan saling
mengangkat.
Ini harus saya sampaikan karena saya sebagai Rais ‘Aam Ahli Thariqah
Mu’tabarah yang mana akan saya pertanggungjawabkan di dunia dan kelak di
akhirat di hadapan Allah Ta’ala. Tunjukkan bahwa kita ini adalah bagian
dari ahli laa ilaaha illAllah.
Oleh: Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan, Rais Aam
Idaroh Aliyah Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah
(JATMAN), yang bersumber dari Hasan Chabibie.
elhooda net