Gus Bur - Karena Gugup Pertama Kali Mengajar Kitab Kuning

Gus Bur - Karena Gugup Pertama Kali Mengajar Kitab Kuning - Kasus ini terjadi di pesantren salaf yang cukup terkenal. Sebut saja, Pesantren Minhajul ‘Abidin. Sore itu sedikit terjadi ketegangan namun berbau komedi dalam pengajian kitab kuning, yang dibacakan oleh Gus Habiburrahman. Panggilan akrabnya Gus Bur.
Gus Bur - Karena Gugup Pertama Kali Mengajar Kitab Kuning - Kasus ini terjadi di pesantren salaf yang cukup terkenal. Sebut saja, Pesantren Minhajul ‘Abidin. Sore itu sedikit terjadi ketegangan namun berbau komedi dalam pengajian kitab kuning, yang dibacakan oleh Gus Habiburrahman. Panggilan akrabnya Gus Bur.

Gus Bur - Karena Gugup Pertama Kali Mengajar Kitab Kuning




Seperti biasa, setiap akan memulai membaca kitab kuning, kiai atau ustadz terlebih dahulu tawassulan. Berkirim do’a fatihah kepada Mushonnif, pengarang kitab dan para guru-guru terdahulu. Sampai di situ semua berjalan lancar dan khidmad.

Gus Bur tampil seperti kiai yang alim baca kitab. Padahal, ia tak pernah nyantri ke pesantren lain. Dia selama ini lebih banyak sekolah umum di luar pondok. Gus Bur pun dikenal sebagai politisi gaek, papan atas. Namun sebenarnya, ia tidak fasih membaca kitab kuning.

Sore itu dia harus membaca kitab, menjadi badal atau kiai pengganti ayahnya, Kiai Mujib yang sedang sakit. “Faslun, utawi iki bab…(adapun ini bab…),” ujar Gus Bur dengan tegas. Lalu, sampailah pada kata atau kalimat dalam kitab yang Gus Bur lupa artinya.

“…al-jaradu, tegasipun lawang (artinya pintu),” kata Gus Bur. Santrinya ada yang paham, Gus Bur salah memaknai kitab. Lalu, seorang santri senior interupsi.

“Maaf Gus, al-jaradu niku maknani pun walang sanis lawang (al-jaradu itu artinya belalang bukan pintu),” tegur santri tersebut.

“Oh inggih leres, maksud kulo walang sak lawang-lawang (ya kamu benar, maksud saya artinya belalang sebesar pintu),” ujar Gus Bur dengan pede-nya.

Kendati suasana sudah gemuruh dengan tawa ria santri, Gus Bur pun meneruskan pengajian. Sampai pada kalimat yang dia juga tidak paham artinya. “Wal Haytu, utawe niku alu (dan adapun itu alu),” kata Gus Bur.

Sekali lagi, santri senior tadi menegor Gus Bur: “Maaf Gus, niku maknani sanis alu sing leres maknani olo (maaf Gus, itu maknanya bukan alu tetapi ular),” kata santri senior.

Kali ini Gus Bur masih terus mengelak, alih-alih mengakui kesalahannya, justru teguran itu diplesetkan : “Inggih leres, maksud ipun olo sak alu-alu (ya kamu benar, maksudnya ada ular sebesar alu),” ucap Gus Bur dengan nada mengelak.

Dua kali Gus Bur ditegur santri, namun ia masih meneruskan bacaan kitabnya. Akhirnya ketika menafsirkan kata an-nafsu, Gus Bur memaknai nafas. Kembali sang santri protes: “Gus, artinya an-nafsu itu ya nafsu, bukan nafas,” tegas santri.

Gus Bur pun kali ini bisa mengelak: “Ya maksudnya nafsu yang keluar lewat nafas,”.

Kali ini, derai tawa santri tak bisa dibendung. Suasana pengajian itu pun akhirnya cair, Gus Bur semakin banyak mengeluarkan bahan lelucon. Bacaan kitab tak diteruskan, Gus Bur banyak bercerita soal kegiatannya di luar pesantren.