Perjalanan Hidup Anton Medan

Perjalanan Hidup Anton Medan - Biografi Anton Medan, perjalanan hidup seorang mantan preman kelas kakap yang tobat
Perjalanan Hidup Anton Medan - Pernah mendengar nama Anton Medan ? Mungkin jika sering melihat berita pernah mendengar nama tersebut. Siapa sebenarnya sih Anton Medan ini ? Yuks kita bahas disini siapa Anton medan ini.
 
Perjalanan Hidup Anton Medan


Terlahir dari keluarga Tionghoa kurang mampu itulah Anton Medan. Terlahir di Sumatera Utara 1 Oktober 1957. Nama asliny adalah Tan Hok Liang. Sejak kecil Anton Medan di kenal sebagai anak yang pemberani. Pada usia 8 tahun ia harus berhenti sekolah karena kondisi keluarga yang kurang mampu untuk membiayai sekolah.

Akhirnya sosok anak kecil yang sering di panggil Kok Lien ini menjadi anak terminal tebing tinggi, ia membantu mencarikan penumpang untuk para sopir. Ia dikenal sebagai anak yang rajin. Banyak supir suka padanya, namun suatu ketika seorang sopir tak mau memberi upah kepadanya. Kok Lien protes karena tak diberi upah. Sang sopir pun marah, terjadilah perang mulut. Karena kurang sabar akhirnya kok mengambil kayu balok dan menghantam sekuat tenaga ke sang sopir. Anton Medan kecil lari namun kemudian ia ditangkap polisi.

Di usia 13 tahun ia merantau ke Medan. Ia mencari penghidupan di terminal kota. Ia  bekerja sebagai pencuci bus. Di sini pun ia terkenal rajin. Dalam sehari ia mampu membersihkan 3 sampai 5 bis.

Suatu ketika uang hasil kerja kerasnya di curi orang, ia pun gelagapan. Setelah menyelediki, ia pun tahu siapa pencuri uangnya dan menegurnya. Tapi si pencuri malah marah dan memukulnya. Orang-orang berdatangan, tapi tak ada yang melerai. Di saat tersudut, Anton melihat sebilah kapak bergerigi yang biasa digunakan membilah es, tergeletak tak jauh darinya. Secepatnya ia ambil dan menghunjamkannya ke wajah lawannya. Seketika lawannya roboh.

Kok Lien lalu ditangkap polisi dan dipenjara selama 4 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Tiang Listrik, Medan. Menginjak usia 17 tahun Kok Lien bebas. Ia gembira dan segera pulang, melepas rindu kepada keluarga. Tapi sayang, sampai di rumah ibunya hanya memberi waktu 2 jam untuk melepas rindu. Ibunya malu kepada tetangga. Dengan berat hati, Kok Lien melangkah pergi.

Berpetualang Ke Jakarta

Dalam kebingunan, Kok Lien ingat pamannya yang berada di Jakarta. Ia ingin bertemu dengan dan ingin bekerja padanya. Namun ia tak tahu alamat pastinya di Jakarta

Walau belum tahu alamatnya, Kok Lien berangkat ke Jakarta. Selama 7 bulan ia mencari pamannya di Jakarta, namun harapannya hancur. Harapanya kikis karena pamanya tak mengakuinya sebagai keponakan. Alasannya adalah karena ia merupakan mantan narapidana.

Saat kekewaan melandanya, ia bertemu dengan kenalannya. Kenalannya ini merupakan seorang penjambret. Mendengar cerita temannya yang menjambret ia pun tertarik untuk ikut menjambret. Ia menjual celana kesayangannya demi membeli pisau. Dengan pisau tersebut ia sukse menjambret.

Kehidupan Kok Lien berubah ia, sudah masuk dunia hitam. Senjatanya pun tak hanya pisau, bahkan ia memiliki pistol. Ia terkenal sebagai penjahat kelas kakan dan paling di cari di Jakarta waktu itu, ia terkenal dengan nama Anton Medan !!!

Perjalanan dunia hitam membuatnya semakin profesional. Ia menjadi bandar judi setelah berhasil meruntuhkan kekuasaan bandar judi besar bernama Hong Lie. Sebagai bandar judi, pendapatnya pun sampai puluhan juta perharinya. Ia menikmati gaya hidup mewahnya. Tapi ironisnya, kekayaan itu habis pula di dunia judi. Ia frustasi, dan sebagai pelampiasannya justru bermain judi di Genting, Makau, Chistmas, Hongkong maupun Las Vegas. Ia kalah milyaran rupiah.

Dalam kebangkrutan itu, ia menemukan hikmah kehidupan yang sangat mendasar. Sejak itulah ia mendalami Islam secara sungguh-sungguh, bahkan di kemudian hari dikenal sebagai da’i.

Lebih jauh, seperti yang tertulis dalam biografi Anton Medan; Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana, buah karya S. Budhi Raharjo, selepas menetapkan pilihan Islam, ia dipercaya sebagai ketua RW di kampungnya. Sebagai abdi masyarakat, ia bekerja sunguh-sunguh. Bahkan ketika harus berhadapan dengan lurah yang diskriminatif terhadap warganya, ia bersedia melawan dan merelakan jabatan ketua RW yang ia sandang. Atas kesediaan berkorban ini, masyarakat di sekelilingnya makin simpatik padanya