Hukum Mengangkat Rahim Sebagai Pengganti KB

Hukum Mengangkat Rahim Sebagai Pengganti KB
Hukum Mengangkat Rahim Sebagai Pengganti KB
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz/ustadzah, selamat malam. Saya Uswatun dari Jakarta. Maaf saya mau tanya, bagaimana hukumnya seorang wanita yang mengangkat rahimnya? Hal itu dilakukan karena ia merasa cukup dikaruniai tiga anak. Ia memilih mengangkat rahimnya daripada ikut program KB. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
 Jawaban

Hukum Mengangkat Rahim Sebagai Pengganti KB
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Apa yang kami pahami dari deskripsi masalah yang singkat tersebut adalah bahwa motif di balik perempuan mengangkat rahimnya adalah untuk sterilisasi kehamilan atau untuk mencegah kehamilan karena merasa cukup dengan tiga anak.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pengangkatan rahim secara otomatis akan memutuskan kehamilan yang bersifat permanen. Dengan kata lain, mematikan fungsi keturunan secara mutlak. Ini tentunya berbeda dengan kasus KB, di mana pencegahan kehamilan itu hanya bersifat sementara.

Jika demikian, lantas bagaimana hukum pengangkatan rahim sebagaimana ditanyakan di atas? Untuk menjawab persoalan ini, kami akan menghadirkan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyatul Baijuri yang ditulis oleh Syekh Ibrahim Al-Baijuri.

Dalam kitab tersebut dijelaskan, dimakruhkan seorang perempuan yang menggunakan sesuatu atau obat yang bisa mencegah kehamilan. Namun akan berubah menjadi haram apabila ternyata memutus kehamilan secara permanen.

وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي 


Artinya, “Begitu pula menggunakan obat yang menunda atau memutus kehamilan sama sekali (sehingga tidak hamil selamanya), maka dimakruhkan dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua,” (Lihat Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Fathil Qarib, Beirut, tanpa tahun, juz 2, halaman 59).

Penjelasan Ibrahim Al-Baijuri ini mengandaikan bahwa yang menjadi titik persoalan dalam kasus penjarangan atau pencegahan kehamilan terletak pada apakah pencegahan itu bisa memutus kehamilan secara permanen atau tidak. Jika permanen, maka jelas diharamkan, sedangkan jika tidak permanen atau bisa dikembalikan seperti semula, maka hanya dihukumi makruh.

Berangkat dari sini, kita dapat menarik sebuh simpulan bahwa pengangakatan rahim adalah tidak dibenarkan atau haram. Sebab, pengangakatan tersebut mematikan fungsi keturunan secara mutlak.

Hal ini tentunya berbeda kasus jika seorang perempuan terpaksa rahimnya diangkat, misalnya atas masukan dari seorang dokter ahli bahwa jika rahim tidak diangkat akan membahayakan jiwanya. Maka dalam kasus ini diperbolehkan untuk diangkat rahimnya karena dlarurah.


إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا


Artinya, “Jika ada dua bahaya saling mengancam, maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1403 H, halaman 87).

Jadi, alasan kebolehan untuk mengangkat rahim adalah kondisi terpaksa atau dlarurah. Sehingga alasan merasa cukup dengan tiga anak sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan di atas tidak bisa diterima, sebab bukan masuk kategori dlarurah.

Lain soal kalau dokter memutuskan bahwa perempuan itu dilarang hamil kembali karena akan membahayakan nyawanya saat persalinan selanjutnya, maka ia diperbolehkan untuk mengangkat rahimnya untuk mengantisipasi kehamilan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Mahbub Maafi Ramdlan) Via Nu or id