Hukum Berjualan Makanan di Siang Hari di Bulan Ramadhan/Puasa - Bulan Ramadan termasuk bulan yang mulia. Banyak peristiwa penting
terjadi di bulan Ramadan, seperti turunnya Alquran, kemenangan umat
Islam di perang Badar, dan lain sebagainya. Banyak hadis yang
menyebutkan kemulian bulan Ramadan itu sendiri. Di antara keistimewaan
puasa Ramadan tercatat dalam hadis di bawah ini:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap
pebuatan baik manusia itu selalu dilipat gandakan. Satu kebaikan bisa
dilipat gandakan menjadi sepuluh atau bahkan tujuh ratus kebaikan yang
sama. “Hanya puasa yang langsung aku balas kebaikannya bagi hamba-Ku
yang berpuasa. Hal ini dilakukan karena hambaku itu sudah rela menahan
nafsunya dan tidak makan hanya karena mengharapkan ridha-Ku. Oleh karena
itu, ada dua kebahagian bagi hamba-Ku yang berpuasa, yaitu bahagia saat
berbuka puasa dan bahagia saat bertemu dengan-Ku di akhirat nanti.
Selain itu, mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi daripada aroma
misik di mata Allah” (HR Muslim).
Ganjaran berpuasa itu bukan
lagi dihitung dengan nominal kebaikan yang setimpal dengannya. Ganjaran
orang berpuasa langsung dijamin bertemu dengan Allah di mana pertemuan
hamba dengan Allah merupakan nikmat terbesar yang tidak ada bandingnya
menurut para ulama saleh. Oleh karena itu, puasa Ramadan selalu terasa
istimewa di setiap hati umat Muslim.
Namun
ada yang aneh bagi diri umat Muslim yang menuntut orang yang tidak
berpuasa untuk menghormati orang yang sedang berpuasa Ramadan. Bukan
seperti itu cara kita menghormati Ramadan.
Menghormati Ramadan cukup dengan cara memperbanyak ibadah individual, seperti shalat tarawih, tadarus Alquran, dan menuntut ilmu, atau ibadah sosial, seperti berinfak. Kita tidak perlu memaksa orang lain yang tidak berpuasa untuk menghormati Anda yang berpuasa.
Itu
bukan menghormati Ramadan, tapi menghormati Anda yang sedang berpuasa
Ramadan. Saya kira, perlu dibedakan antara menghormati Ramadan dan
menghormati orang yang berpuasa Ramadan,
Apalagi beberapa waktu
lalu diberitakan media bahwa orang yang membuka rumah makan sampai
dirazia oleh pemerintah tertentu. Bukankah hukum berjualan makanan dan
minuman di siang bulan Ramadan itu termasuk perbedaan pendapat ulama?
Paling
tidak ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan untuk membolehkan
orang berdagang makanan dan minuman di siang hari bulan Ramadan.
Pertama,
ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjual makanan untuk non-Muslim.
Alasannya, apakah mereka itu termasuk orang yang terbebani (ter-taklif)
hukum-hukum syariat atau tidak. Tentu agak janggal ketika non-Muslim
pun dituntut untuk menghormati orang Muslim yang berpuasa. Bukankah
perintah kewajiban puasa hanya diberlakukan untuk orang Muslim yang
beriman sebagaimana firman Allah:
“Hai orang beriman,
diwajibkan bagi kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana umat sebelum
kalian melaksanakannya. Hal ini dilakukan demi meningkatkan ketakwaan
kalian” (QS al-Baqarah: 183).
Kedua, Syekh Salim bin Abdullah, penulis kitab Kasyifah as-Saja, menerangkan
bahwa ada enam orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Mereka
adalah musafir, orang sakit, orang tua renta, orang yang kelaparan dan
kehausan yang dapat membahayakan nyawanya, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Bagaimana jika jualannya ini dikhsuskan untuk mereka?
Ketiga,
penjual makanan dan minuman di siang Ramadan bisa jadi itu adalah usaha
satu-satunya untuk mendapatkan seperak atau dua perak rupiah untuk
menghidupi keluarganya atau mungkin dia hanya seorang pekerja yang
sedang mengais rezeki dari rumah makan milik bosnya.
Oleh karena
itu, salah satu kaidah fikih ini mungkin tepat untuk dipertimbangkan
terkait hukum berjualan makanan dan minuman di siang Ramadan, la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkar al-mujma’ ‘alaih, sesuatu hukum yang masih diperselisihkan ulama tidak perlu ditindak.
Nah,
melihat kaidah itu, yang perlu ditindak itu hukum yang sudah jelas
disepakati ulama. Semoga Ramadan ini membuat kita lebih jeli dan arif
dalam melihat segala sesuatu, termasuk hukum yang masih dalam perbedaan
di kalangan ulama. Wallahu a’lam bisshowab.
Ibnu Kharis, peneliti hadis el Bukhori Institute via Islami Co