Profil Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Mantenan Udanawu Blitar

Profil Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Mantenan Udanawu Blitar - Pondok pesantren biasanya berada di daerah yang jauh dari perkotaan. Begitu juga pondok pesantren Mamba’ul Hikam. Pondok pesantren ini berjarak kurang lebih 24 KM dari kota Blitar. Tepatnya di dusun Wonorejo Desa Slemanan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar
Profil Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Mantenan Udanawu Blitar - Pondok pesantren biasanya berada di daerah yang jauh dari perkotaan. Begitu juga pondok pesantren Mamba’ul Hikam. Pondok pesantren ini berjarak kurang lebih 24 KM dari kota Blitar. Tepatnya di dusun Wonorejo Desa Slemanan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar. Pondok pesantren ini berdiri diatas tanah seluas kurang lebih 4 ha. yang merupakan tanah waqah dan tanah milik keluarga Kyai.

Profil Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Mantenan Udanawu Blitar


Pondok pesantren mamba’ul Hikam sering dikenal dengan sebutan pondok Mantenan, meskipun kenyataanya tidak berada di dusun Mantenan, melainkan berada di dusun Wonorejo, hal ini dikarenakan warga masyarakat Mantenanlah yang banyak berperan dalam awal pembangunan masjid dan pondok pesantren serta yang aktif dalam kegiatan masjid dan pondok pesantren pada awal berdirinya. Sedangkan warga masyarakat Slemanan, yang waktu itu belum begitu mengenal agama islam, tidak begitu memberikan sambutan yang positif terhadap adanya masjid dan pondok. Sehingga sekarang ini nama Mantenanlah yang tetap melekat pada masjid dan pondok pesantren ini. 

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Mantenan Udanawu Blitar 


Berdirinya pondok pesantren ini bermula pada tahun 1907, dengan hadirnya pemuda bernama Abdul Ghofur yang sangat ‘alim dalam Ilmu agama dan telah berpengalaman nyantri (mondok) diberbagai pondok pesantren. Beliau adalah menantu Haji Munajat (H. Ibrohim), seorang hartawan yang sangat terkenal kedermawanannya. Alkisah pemuda Abdul Ghofur adalah cucu dari seorang kyai pengasuh pon-pes. Konon, kakek beliau pernah mengadakan sayembara khusus untuk keluarga. Isi sayembara tersebut adalah barang siapa yang mampu meminum habis air yang telah disediakan dalam wadah (sejenis gelas) dengan sekali tegukan, maka ialah yang kelak mewarisi ilmu sang kakek. 

Wal hasil dengan izin Alloh, hanya Abdul Ghofur lah yang berhasil, meskipun waktu itu beliau masih kecil. Pada saat melihat masyarakat di daerah mertua yang kehidupan beragamanya sangat memprihatinkan, pemuda Abdul Ghofur merasa terpanggil untuk berda’wah, amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai awal pelaksanaan misi berda’wah beliau, dibangunlah sebuah langgar atau musholla. Selanjutnya dengan telaten beliau mengajak penduduk sekitar untuk memeluk agama islam dan melakukan syari’at-syari’atnya serta menghidupkan musholla beliau dengan kegiatan ibadah. Dan ternyata masyarakat terutama di dusun Mantenan, menyambut baik da’wah beliau. Banyak anak-anak, para pemuda, maupun orang tua yang mendatangi musholla untuk berjama’ah, belajar membaca al-qur’an dan ilmu syari’at yang lain. Hari terus berganti, musholla tersebut semakin banyak didatangi bukan saja dari masyarakat sekitar, tapi banyak juga yang datang dari desa lain, karena masyarakat yang datang sangat banyak dan dirasa tidak dapat tertampung lagi, akhirnya pada tahun 1911, dibangunlah sebuah masjid dan pondok dengan 6 kamar (sekarang disebut asrama Gedekan atau As-Syafi’i) umtuk para santri yang menetap.

Maka sejak itulah mulai berdiri pondok pesantren yang oleh KH. Abdul Ghofur diberi nama Nahdlotut Tholab. Dan pondok ini terus berkembang, bahkan banyak juga santri yang berdatangan dari daerah yang jauh. Dan untuk mendidik santri yang terus bertambah maka dibentuklah sistem baru yaitu sistem madrasah. Dan di bawah koordinasi bapak Roikhuddin pada tahun 1920, berdirilah madrasah di bawah naungan pondok pesantren Nahdlotut Thullab. Dan pada tahun 1960 secara hukum telah mendapat pengakuan dari pemerintah dengan nama madrasah Ibtida’iyyah Nahdlatoel Oelama (MINO). Pada saat KH. Abdul Ghofur memasuki usia senja, beliau menunjuk kyai muda Mirzam Sulaiman Zuhdi dan Kyai Muda Zubaidi untuk mengemban amanat memimpin pondok dan madrasah. 

Pada tahun 1948 sepulang dari mondok, Kyai Zubaidi mempunyai ide mengganti nama madrasah menjadi Mamba’ul Hikam dengan harapan bisa tafa’ul dari nama tersebut, yang berarti sumber beberapa hikmah. Pada tahun 1952, duka yang dalam menyelimuti Pon-Pes Nahdlatut Tholab dan Madrasah Mamba’ul Hikam, para santri dan masyarakat berkabung, karena seorang tokoh panutan yang mereka segani dan mereka hormati, sang pendiri dan pengasuh pondok, yakni KH. Abdul Ghofur berpulang ke rahmatullah, meninggalkan amanah pondok & madrasah. Sepeninggal al-maghfurlah KH. Abd. Ghofur, maka perjuangan diteruskan oleh generasi berikutnya, yakni K. Mirzam Sulaiman Zuhdi dan K. Zubaidi. Dan pada dekade ini nama Mamba’ul Hikam semakin terkukuhkan, meskipun nama yang resmi terdaftar adalah “ MINO “.

Pada tahun 1974, seorang tokoh muda yang waktu itu menjadi koordinator bidang pengajaran, yang juga alumni Pondok Mantenan (1962-1966). Mengusulkan pengintegrasian nama Madrasah dan nama Pondok Pesantren (menjadi satu nama), yaitu dengan nama MAMBA’UL HIKAM. Tokoh tersebut adalah Al-Ustadz Abdul Mujib Husnan. BA. Pengintegrasian ini dimaksudkan untuk mempermudah pengkonsolidasian dan pengaturan dalam hal administrasi dan menejemen pondok pesantren dan madrasah. Dan usul ini diterima oleh Kyai Zubaidi, maka atas restu dari beliau nama Pondok Pesantren dan Madrasah adalah MAMBA’UL HIKAM .