Tata Cara Ruku’ dan I’tidal dalam Shalat - Sebagaimana diketahui bahwa ruku’ dan i’tidal merupakan rukun fi’li
(rukun yang berupa perbuatan) di dalam shalat. Sebagai rukun shalat
maka ruku’ dan i’tidal tidak bisa ditinggalkan. Keduanya mesti
dikerjakan dengan baik dan benar sesuai aturan yang ada.
Ruku’ Dalam Sholat
Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhajî mendefisinikan
ruku’ sebagai merunduknya badan orang yang shalat dengan ukuran
sekiranya kedua telapak tangan sampai pada kedua lututnya. Ini adalah
posisi minimal orang melakukan ruku’ sebagai rukun shalat. Adapun posisi
ruku’ yang sempurna adalah merunduk di mana posisi punggung dan leher
sejajar, datar, lurus dan tidak melengkung, kedua betis berdiri tegak
dengan kedua lutut dipegang oleh kedua telapak tangan dengan jari-jari
terbuka serta diam tenang seraya tiga kali mengucapkan doa:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
“Subhâna Rabbiyal ‘Adhîmi”
Para
ulama menetapkan ruku’ sebagai rukun shalat dengan berdasarkan kepada
sabda Rasulullah SAW kepada orang yang beliau ajari shalat:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
Artinya: “Kemudian ruku’lah sampai engkau tenang (tuma’ninah) dalam keadaan ruku’.” (HR. Imam Bukhari)
Sebagai
rukun di dalam tata cara melakukannya tentu ruku’ memiliki
syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang yang sedang
shalat. Tidak terpenuhinya salah satu syarat dapat menjadikan ruku’nya
tidak sah yang juga berdampak pada tidak sahnya shalat yang sedang
dilakukan.
Kitab Al-Fiqhul Manhajî menyebutkan ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi ketika ruku’. Ketiga syarat tersebut adalah:
Pertama, merundukkan tubuh sebagaimana disebut di atas di mana kedua telapak tangan bisa mencapai kedua lutut.
Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari yang menceritakan sifat shalatnya Rasulullah SAW:
وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Artinya: “Ketika Rasulullah ruku’ beliau menempatkan kedua (telapak) tangannya pada kedua lututnya. “
Kedua,
merunduknya bukan dimaksudkan untuk sesuatu selain ruku’. Sebagai
contoh, ketika seorang yang sedang shalat dalam posisi berdiri dan sudah
membaca surat Al-Fatihah ia merasa ada yang sakit di kaki bagian bawah
lututnya sehingga ia mersa perlu untuk memegangnya. Maka ia merundukkan
badan dengan maksud untuk memegang bagian yang sakit tersebut. Bila
dalam posisi demikian lalu ia bermaksud untuk sekalian ruku’ maka ruku’
yang seperti ini tidak sah karena ketika ia merunduk niatnya bukan untuk
ruku’ tapi untuk tujuan lain. Karena ruku’ tersebut tidak sah maka ia
wajib kembali pada posisi berdiri kemudian merundukkan badan untuk
ruku’. Bila tidak demikian maka ruku’nya tidak sah yang juga menjadikan
shalatnya juga tidak sah.
Ketiga,
tuma’ninah. Orang yang melakukan ruku’ harus disertai dengan tuma’ninah
yang berarti tubuhnya yang merunduk itu harus tenang terdiam minimal
selama bacaan kalimat tasbih subhânallâh. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam hadis Rasulullah di atas.
I’tidal Dalam Sholat
I’tidal
adalah berdiri yang memisahkan antara ruku’ dan sujud. Syekh Nawawi
Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ mendefinisikan i’tidal sebagai
kembalinya orang yang shalat pada posisi sebelum ia melakukan ruku’,
baik kembali pada posisi berdiri (bagi orang yang shalatnya dengan
berdiri) ataupun pada posisi duduk (bagi orang yang shalatnya dengan
duduk).
Sebagaimana ruku’ i’tidal juga memiliki 3 (tiga) syarat dalam pelaksanaannya. Ketiga syarat tersebut adalah:
Pertama,
bangunnya dari ruku’ tidak dimaksudkan untuk tujuan lain selain i’tidal
itu sendiri. Penjelasan tentang hal ini dalam contoh kasus sebagaimana
dalam hal ruku’.
Kedua,
tuma’ninah. Pada saat melakukan i’tidal harus dibarengi dengan
tuma’ninah posisi tubuh tegak berdiri dalam keadaan diam dan tenang
minimal selama bacaan kalimat tasbih subhânallâh.
Ketiga,
i’tidal tidak dilakukan dengan berdiri dalam waktu yang lama melebihi
lamanya berdiri pada saat membaca surat Al-Fatihah. Karena i’tidal
merupakan rukun yang pendek maka tidak boleh memanjangkannya.
Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin) via NU.Or.Id